Perempuan di Hari Kartini

April ini berlalu dengan cepat terlindas kesibukan yang ternyata mampu membuat manusia berjalan laksana zombie. Tak lagi saling mengucap ‘selamat hari kartini’ , seolah mencukupkan diskusi terkait mirisnya sejarah perempuan. Dan saya serta beberapa perempuan itu, tak ingin menambahkan bumbu emosional di ruang umum, jika hanya mengesankan betapa terdzaliminya perempuan. Tidak mau. Dan memang tidak perlu. Sedang tidak tertarik mengunggah konflik.

Emansipasi perempuan? emansipasi seperti apa? Pertanyaan yang banyak memunculkan perdebatan bahkan dari kalangan perempuan sendiri. Tentu sangat menyenangkan jika menyantap argumen-argumen cerdas guna menambah kapasitas diri.

Sesungguhnya, masa bodoh dengan komentar negatif dari kaum laki-laki, biarlah, sekedar menambah parameter penilaian tentang bagaimana memilih partner hidup saja nanti. Namun ketika muncul komentar naif dari si perempuan sendiri yang terasa mengecilkan nilai sejarah perjuangan kaumnya, entah mengapa tetap saja membuat hati ini miris. Emansipasi membuat perempuan lupa pada kodratnya mereka bilang?? kodrat yang mana? sebagai Ibu? sebagai istri? ish…simplifikasi yang keterlaluan.

Teringat seorang teman laki-laki pernah beberapa kali berkomentar dulu “kamu ini, kalau masalah gender saja, konspiratif sekali”. Konspiratif?? Ah, bukan, hanya masalah ego perempuan.  Namun kondisi ini cukup membuat diri berkaca di mana posisi perempuan secara umum yang sedang dipijak kaki dan kembali menunduk, akan keterbatasan diri.

Sudahlah hai diri, perempuan dengan keperempuanannya tetap saja manusia yang punya kebebasan memilih jalan dan filosofi hidup masing-masing,  memang sangat tak adil berkiblat hanya pada stereotype yang ada. Dan tak adil pula kau menilai hanya berdasar komentar terkait keperempuanan mereka itu, sementara kau tak berbuat apapun.

Yang memanusiakan manusia itu amal mereka, bukan?

#biarsajakekesalangwditulisdisini.kesel.kesel.nahsudahcukup.