Soliloquy: I do, too

To be honest with you, I don’t have the words to make you feel better, but I do have the arms to give you a hug, ears to listen to whatever you want to talk about, and I have a heart; a heart that’s aching to see you smile again….

#aish berasa gombal hahah! 😀

#but I do care 🙂

begitulah, selama ini fenomena terkait support system (merasa ada gak adanya dukungan orang terdekat) seringkali hanya dilihat dari satu sisi.

Misalnya ketika ada kakak A yang sakit kanker, bentar-bentar bolak balik RS untuk kemoterapi. Lalu adik B dan C bergiliran mengantarnya. Awal-awal terapi, B dan C selalu berusaha selalu ada untuk kakaknya. Namun lama-kelamaan, ketika kemo harus makin sering dan rutin, maka B dan C pun mulai kewalahan mengatur jadwal ke kantor. Mereka sering kena tegor atasan karena sering ijin, belum lagi ditambah hutang yang mulai menumpuk untuk biaya kemo. Maka si B mengatasinya dengan berusaha bekerja lebih keras lagi untuk cari tambahan dana, lemburlah..part time-lah, tapi akhirnya waktu untuk A pun berkurang. A pun merasa mulai diacuhkan oleh adiknya, ia sering merasa menderita kenapa Tuhan menghukumnya dengan sakit yang tak kunjung reda. A menjadi lebih demanding, dan C mulai kelelahan menjaga A sendiri. Alhasil, satu waktu C marah pada A yang kurang kooperatif dengan terapi, dan A pun marah pada dunia yang tak paham betapa menderitanya ia.

See? support system itu berasal dari 2 arah: perceived dan received. Kalau dua duanya gak ketemu ya susah..

Tapi sebagai makhluk sosial, tentu kita gak bisa terlepas dari dua hal itu. Kuncinya tentu pada komunikasi. Sudah mengutarakan perasaan/pendapat/keinginan kita dengan jelaskah? Dan sudahkah kita menolong diri kita sendiri dulu? Pengalaman sih, seringkali berusaha menolong diri, berusaha tetap berjalan dengan diam di tengah kepengapan-kepenatan, dengan tetap berusaha (sok) peduli pada orang lain itu karena memang gak tahu mesti ngapain lagi.. tiba-tiba voila..ditunjukkan sama Allah, oh ternyata salah gw ini..ternyata harusnya gw begini..ternyata gw gak segitunya menderita kok, masih banyak potensi kebaikan yang harus gw syukuri..terlalu banyak malah..Duuh Allah…

Jadi usahlah demanding sama dunia, kalau mau berbagi ya berbagilah, tp jangan tereak berlebihan tentang idealisme yang tentu berbeda di tiap kepala orang. Kita berbeda, karena tujuan penciptaan kita juga berbeda. Tapi juga jangan merasa sok beda, karena ya…siapalah kita ini…sama-sama dicipta dari tanah, yang mau makan saja kita tak mampu memproses sendiri (numbuhin padi sendiri, mupuk sendiri, manen sendiri, dan seterusnya dan seterusnya…)

So, demanding itu sama Tuhan aja 😉

Takut? wajar.. Sedih? itulah nikmatnya punya Tuhan.  Namun segitu parahkah? atau hanya perceiving otak saja?

Tak usah banyak bicaralah, mari terus bersyukur dan optimalkan potensi.

#eh ini gw yg banyak omong, ya..another soliloqui sajalah


One thought on “Soliloquy: I do, too

  1. oh this article has a nice explanation:
    Self-respect requires time for regular tending. I use the example of tending to yourself as though you were tending to a garden. Like a plant that requires water, pruning, or further cultivation, take time daily to affirm your spiritual connection and affirm your physical health — and most importantly, we must tend to the other humans in our life. By tending to others, we begin the cycle of giving; we put gratitude into action. When gracious, we cannot be fearful or angry at the same time. By making this into a habit, we begin the transformation process of the soul. We alter our frequency, our consciousness, and we begin to attract better, matching life situations, people and circumstances. We are spiritual beings having human experiences. It is crucial to acknowledge this fact to remain close to our source.

    Separation is when we are in ego, when we believe we are our bodies. When in ego, we respond with anger and fear. (perlu diperhatikan bagian ini! 🙂 )

    When in spirit, we respond with love, compassion, understanding. Like water removed in a cup from the ocean (its source) and placed on a table in the sun, it changes form, evaporating into the sky always to be returned to source (the ocean). We are like the water, always in spirit, always connected but in a different form. As we recognize that we, like the water, are always the same as source, we see our power. We are spirit; we are God; we are immortal.

    This is self-respect; this is self-esteem at the highest attainable level. It is from this level of consciousness that we can move mountains, attract miracles, heal ourselves, love our neighbors and our partners more aptly.

    Be gracious, be humble, be open — you will begin to see the synchronicity as your self-discipline turns into self-esteem and how the quality of life immensely improves as a result of this newfound ritual and higher level of self-respect.

    http://blog.iloveallaah.com/2012/06/reconciling-the-hearts/?utm_source=iloveAllaah.com+Blog&utm_medium=twitter

Leave a comment